Logo
DALL·E-2025-01-30-09.14.52-A-modern-Islamic-boarding-school-pondok-pesantren-utilizing-AI-technology-in-its-programs.-The-scene-shows-students-in-traditional-Islamic-attire-us

Santri dalam Sorotan Pixel: Menjawab Distorsi Digital Lemaren Pasca Hari Santri Nasional

Karya: Widya Tri Agustyn

Setiap 22 Oktober, gema Hari Santri Nasional kembali mengingatkan bangsa ini pada peran historis para santri dalam perjuangan dan pendidikan moral bangsa di masa silam. Namun, di era digital, gema itu bergema di ruang yang berbeda, bukan lagi di lingkup pesantren dan lapangan upacara, melainkan di jagat media sosial, dalam bentuk foto, video, hingga meme. Seolah santri kini hidup dalam “sorotan pixel” sebab semua berada dalam ruang visual yang dapat mengubah persepsi publik hanya lewat satu unggahan.

 Lantas, fenomena ini bukan hanya sekadar pergeseran teknologi, melainkan pergeseran identitas. Pasalnya, citra santri di media digital tidak lahir begitu saja, ia lahir oleh narasi-narasi visual yang beredar dalam ranah publik. Banyak konten menggambarkan santri secara romantis, sederhana, sopan, dan religius. Namun, juga tak sedikit yang menggambarkan sebaliknya, bahkan juga ada yang menyederhanakan santri sebagai “ikon religius” tanpa kedalaman spiritual dan intelektual yang sesungguhnya.

Representasi santri di media sosial itulah acap kali berayun anatara dua kutub yaitu tradisi dan modernitas. Di satu sisi santri dipuja sebagai simbol moral bangsa, sedangkan di sisi  lain malah dijadikan bahan hiburan atau komoditas digital sehingga tampak kehilangan konteks keilmuannya. Dalam hal ini media digital berperan seperti cermin yang retak, ia memantulkan citra tapi tidak selalu menampilkan kebenaran.

Oleh karena itu distorsi digital terhadap santri muncul ketika visual dan narasi yang beredar tidak lagi merefleksikan nilai-nilai inti pesantren. Misalnya, munculnya santri influencer, yang lebih dikenal karena konten gaya busana atau hiburan ketimbang isi dakwahnya. Sehingga menunjukkan adanya kesenjangan etika digital di kalangan santri muda. Meski begitu distorsi juga datang dari luar, dari media arus utama yang sering membingkai pesantren dengan stereotip negatif, terutama saat terjadi kasus tertentu. media seringkali menampilkan pesantren secara parsial sehingga kadang terlalu ideal, kadang terlalu problematis. Akibatnya, masyarakat mengenal santri bukan dari realitas, tetapi dari narasi yang dimediasi.

Meski begitu, era digital tidak semestinya dilihat sebagai ancaman. Justru di sinilah santri bisa meneguhkan peran historisnya menjaga moral dan penuntun makna di tengah kebisingan informasi.

Oleh karen itu, kini santri dituntut untuk memiliki literasi digital spiritual, yakni kemampuan menggunakan media bukan hanya secara teknis, tapi juga dengan kesadaran nilai. Sebab dengan digitalisasi dakwah pesantren bisa menjadi jalan baru penyebaran nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, asalkan dilakukan dengan prinsip adab dan tanggung jawab.

Di sinilah pentingnya pendidikan literasi digital di pesantren. Santri dididik untuk memahami algoritma, narasi, dan etika daring. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi pengguna media, tetapi juga penafsir zaman. Maka  fenomena distorsi digital terhadap pesantren akan sedikit mereda.

Simpulnya, santri dalam sorotan pixel adalah cermin dari bagaimana agama, budaya, dan teknologi saling berinteraksi. Distorsi digital tidak dapat dihindari, tapi bisa dijawab, bukan dengan menolak teknologi, melainkan dengan memasukkan nilai-nilai pesantren ke dalam ekosistem digital.

Dengan literasi digital yang beradab, santri bukan lagi hanya penerima arus informasi, melainkan pengarah arus makna. Di tengah hiruk pikuk media sosial, mereka adalah penjaga nurani digital bangsa.

Editor: Anwar Dzak & Yayuk SK.

 

Share this post

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on print