MEMBUNGKAM MULUT, PENA MERENGGUT
Fairuzcindy Azielda
Pancasila. Sebuah kalimat yang sudah diraung-raungkan sejak di bangku sekolah dasar. Bahkan mungkin sejak ditimang kala belia. Lima sila yang dipertimbangkan selama berhari-hari demi tercapainya sebuah makna yang pasti. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, perwakilan, keadilan. Sebuah topik yang sangat krusial bagi bangsa merah putih.
Semua bangsa di belahan dunia tahu Indonesia negara dengan tingkat kesolidaritasan yang tinggi, apapun pebedaannya kita terjang. Semua bangsa juga tahu orang Indonesia ramah-ramah. Semua bangsa juga tahu Indonesia punya penduduk yang relatif religius. Tapi dua hal akhir, tentang perwakilan dan keadilan, adakah yang menyinggungnya?
Ya tetap ada. Ada jika diraung-raungkan di ruangan mewah nan megah dengan ratusan kursi. Dimana para manusia berkumpul menggelorakan “kemaslahatan” rakyat setelah perutnya kenyang dengan segala jaminan. Mereka yang maju didepan kala peperangan berarti merekalah yang membentengi pasukan belakang, bukan begitu? Tapi apakah peraturan yang berlaku bahwa pasukan belakang harus menjadi donatur pasukan depan?
Delapan dekade sudah negeri ini berdiri. Namun suara rakyat tampaknya masih menjadi momok mengerikan bagi mereka yang duduk di kursi itu. Ya, mengerikan.mengerikan bila tulisan-tulisan seperti ini terdengar dan mematahkan bualan-bualan kadaluarsa kala masa pemilu bermulai.
Reformasi tak pernah selesai. Merah putih terus berkibar mengiringi raungan seorang yang mengalahkan jutaan jeritan manusia. Jiwa-jiwa yang tidak pernah berkumpul dalam ruangan megah yang mengenyangkan itu, tapi setidaknya tidak berpura-pura lupa atas pelajaran sekolah dasar.
Terimakasih, sudah memberikan tambahan materi pelajaran yang amat berharga diluar kurikulum. Berharap materi itu juga yang akan membawa bangsa menuju perubahan besar. Mungkin sudah saatnya kita belajar, bahwa apa yang tertulis tak selalu menjadi maksud sang perintis.
Editor : M. Faizin & Yayuk SK.