Logo
download (1)

DARI PESANTREN UNTUK DUNIA: PERJALANAN KARYA SANTRI PUTRI

BERTAJUK EMANSIPASI: MERAMPAS KEWAJIBAN-KEWAJIBAN GILA SANTRI PUTRI

Widya Agustyn

Pondok pesantren, sebuah lembaga pendidikan Islam traditional, dimana para santri tinggal dan belajar dibawah naungan seorang Kyai. Sehingga pasti pabila secara prinsip pesantren mengajarkan mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, yang mana memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah, dan keduanya juga memiliki hak dan kewajiban dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang telah tertulis dalam ajaran Islam.

Meski begitu, masih sering dijumpai dalam praktiknya, terdapat perbedaan dan peran sosial antara santri putra dan santri putri. Sehingga santri putri memiliki keterbatasan akan update dunia dan teknologi. Sebagai contoh perempuan memiliki hak untuk mendapatkan Pendidikan agama dan umum. Namun, dalam beberapa kasus, kurikulum pesantren masih memberikan ruang bagi diskusi dan demonstrasi keterampilan bagi perempuan. Perempuan melulu terkekang dalam bilik kajian-kajian dasar pesantren. Sedang, para lelaki tampil bebas, dan selalu update seiring berkembangnya teknologi. Bahkan tidak jarang jargon traditional dalam pesantren yang masih bersifat patriarki, sehingga muncul kewajiban-kewajiban gila bagi santri putri, yang tidak sepatutnya disebut sebagai hak. Sebagai misal, santri putri dilarang untuk memegang kendali sebuah kajian dan forum, santri putri juga tida boleh mengembangkan organisasi layaknya lelaki, toh pabila boleh juga fasilitasnya pasti berbeda. Semuanya dengan dalih ini kewajiban kalian sebagai seorang permpuan, biarkan saja lelaki yang mengurus segalanya, perempuan hanya tinggal mendukung dari belakang.

Lantas jika begini, bukankah menjenuhkan menjadi seorang santri putri? Padahal tiada beda antara perempuan dan laki-laki, antara santri putra dan santri putri yang menjadi pemimpin diskusi. Perempuan bukanlah sebuah soal ujian yang harus memilih sesuai alur pembelajaran untuk menggapai hasil terbaik jawaban. Bukan lagi jamannya asrama santri putri di pagar oleh kawat besi. Bukan juga jamannya aurat sebagai dalih penutupan akses kreasi. Aurat memang wajib di tutup tapi tidak untuk keterampilan, dan kebebasan. Segalanya memiliki wajah yang sama dimata agama, tapi mengapa untuk penerpannya selalu dibuat berbeda?

Sehingga jelas persoalan ini adalah sebab kesenjangan pesantren yang perlu diatasi. Maka suarakan emansipasi, dan rampas kewajiban-kewjiban gila santri putri. Mungkin disini saya mendapat kebebasan ataukah anda juga mendapat kebebasan tapi diluaran sana, masih banyak santri putri yang tidak memiliki kurikulum kebebasan seperti kita.

Editor: Anwar Dzak & Yayuk Sk.

Share this post

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter
Share on print